Foto: Dok.Vida
Sahabat Perempuan,
Akhir-akhir ini kekerasan pada perempuan marak terjadi. Baik itu kekerasan seksual maupun fisik. Dan itu tidak hanya dialami oleh perempuan yang sudah berkeluarga dimana dia disakiti pasangannya tetapi juga perempuan yang masih lajang juga mengalami kekerasan dari kekasihnya.
Pertanyaannya kok mau?
Ini yang seringkali kita orang diluar pertanyakan kenapa mau diperlakukan seperti itu. Mengutip istilah anak muda sekarang, “susah sih kalau sudah bucin”. Apa itu bucin? Budak Cinta alias cinta banget perempuannya. Mau disakitin sesakit-sakitnya, tetap saja sulit melepas kekasihnya. Apalagi perempuan mudah luluh kalau pasangannya sudah minta maaf dan berjanji tidak akan mengulang.
Janji, maaf saat itu. Setelahnya biasanya nih terulang lagi. Kondisi perasaan yang samapun dialami perempuan berkeluarga. Alami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kekerasan seksual berusaha untuk menikmati hidup walaupun patah hati. Mau angkat bicara, ada perasaan takut, malu.
Berbagai dampak yang dialami para perempuan ketika mengalami hal yang sangat menyakitkan ini. Secara Fisik korban mengalami korban bisa mendapatkan luka , penyakit menular seksual, atau bahkan kehilangan nyawa.
Sementara dari sisi Psikis , peristiwa traumatis yang bisa saja terjadi berulang dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), menyakiti diri sendiri (self-harm), atau pikiran untuk bunuh diri.
Tertolak, dipandang sebelah mata, bahkan disudutkan oleh masyarakat ataupun keluarga terdekat membuat korban berpikir pendek. Menyakiti diri bahkan ada yang nekad mengakhiri hidup. Sangat miris dan tragis.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) ada sekitar 25.050 kasus yang menimpa perempuan di tahun 2022 baik itu kekerasan dalam rumah tangga maupun seks. Itu yang sudah dilaporkan. Bagaimana yang belum melapor?
Untuk perempuan diluaran sana baik yang mengalami ataupun tahu ada disekitaranmu, ada baiknya mengenal sahabat saya yang satu ini.
Justitia Avila Weda
Perempuan berparas manis ini menginisiasi terbentuknya Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) bersama rekan perempuan lainnya berbasis teknologi. KAKG berdiri Juni 2020 saat pandemi dan gratis dalam memberikan pelayanan.
Justitia Avila Veda yang pernah mengalami kekerasan seksual ini, merasa perlu melakukan sesuatu untuk kaum perempuan. Melalui cuitannya di twitter, perempuan lulusan University of Chicago Law School menawarkan jasa konsultasi umum bagi orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual atau mengetahui orang-orang yang mengalami kasus tersebut.
Dampak dari cuitan perempuan kelahiran, Semarang 11 Oktober 1994 yang menjadi viral memberi ketertarikan pada praktisi hukum lainnya seperti jaksa, pengacara untuk membantu.
Tidak hanya program hukum, KAKG juga menyediakan jasa pemulihan psikologis, medis, dan sosial yang membutuhkan korban selama penyelesaian masalah.
Diceritakan perempuan berkacamata ini awalnya berdiri ada sekitar 40 aduan yang masuk via email (tidak termasuk DM via twitter ya). Namanya baru berdiri nih, masih belum rapi. Untuk itu antara bulan ke 2-3 Veda, begitu biasa dipanggil merekrut 10 pengacara relawan untuk membantu.
Bagaimana caranya?
Pertanyaan menarik, bagaimana korban bisa konsultasi. KAKG menyediakan layanan konsultasi dan pendamping bagi para korban kekerasan seksual melalui layanan hotline dari Senin-Jumat pukul 08.00—18.00 WIB.
Untuk mengaksesnya melalui akun Instagram @advokatgender dan mengisi formulir yang tersedia. Diharapkan korban menceritakan kronologi secara jujur dan detail dan kebutuhan.
Foto: IG @advokatgender/seperti ini form pengaduan
Selain itu, melalui emailpun korban bisa menyampaikan kronologis secara lebih detail lagi di konsultasi@advokatgender.org.
Setelah data masuk selanjutnya akan dijadwalkan untuk konsultasi via telepon. Oh ya di KAKG ada 45 pengacara yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan untuk setiap harinya ada dua pengacara yang piket setiap hari Senin—Jumat dan memberikan konsultasi hukum.
Diharapkan korban mau terbuka, untuk kasus yang menimpanya agar pengacara dapat memberikan gambaran penyelesaian hukum dan non hukum yang bisa ditempuh korban.
Jika korban ingin menempuh jalur hukum, maka ada sederet proses yang harus ditempuh seperti tanda tangan surat kuasa hingga melakukan laporan ke polisi.
Oh ya saat konsultasi ini terkadang tidak secara langsung prosesnya melalui jalur hukum, korban yang mengalami kekerasan tidak sedikit mengalami trauma bahkan tingkat depresi yang parah. Nah ini yang terlebih dahulu harus segera dibereskan.
Di KAKG ini juga menggandeng jaringan psikolog maupun dokter untuk membantu proses penyelesaian.
Apakah Ada Tantangan?
Oh tentu saja. Seperti minimnya SDM di lembaga KAKG sementara aduan korban kekerasan begitu banyak. Menyikapinya, KAKG mempelajari dulu kasus yang masuk mana yang terlebih dahulu ditangani.
Selain itu banyak pasal yang dapat dijadikan celah oleh pelaku kekerasan untuk melaporkan balik korban. Dan korban saat melaporkan mentalnya belum siap. Ini menjadi tantangan bagi Veda dan kawan-kawan KAKG untuk terus maju memperjuangan para perempuan teraniaya baik secara psikis maupun mental.
Foto: Kumparan
Berkat kegigihan Veda dan kawan-kawan di KAKG pantang menyerah dan semangat tinggi memperjuangan kaum perempuan sebagai Sahabat Korban Kekerasan Perempuan maka di tahun 2022, Veda menerima penghargaan Astra SATU Indonesia Awards 2022 di bidang kesehatan (D/s)