Foto: Glory (bungsu), me & Rachel (sulung)
Hai ayah & ibu, kita ngobrol yuk
Disini siapa yang dalam menerapkan pendidikan anak berkiblat ke diri sendiri alias mengikuti gaya orang tua kita yang dulu, jadul, kaku dan tidak bisa ditentang.
Cerita dulu tentang Dennise ketika kecil ya,
dari dulu aku tuh udah memang beda dengan teman-teman masa kecil yang kalau ditanya cita-citanya mau jadi apa. Banyakkan keren-keren’kan. Ada yang bercita-cita jadi insinyur, dokter bahkan presiden. Wiih, keren banget.
Lalu Dennise jadi apa?
Saya ingin menjadi orang terkenal. Hah terkenal? artis geto?! gak juga sih. Sadar tidak memiliki wajah yang cantik jadi memang tidak pernah bercita-cita menjadi artis. Kan terkenal itu tidak harus jadi artis ya. Bisa jadi atlit, desainer atau sutradara film. Nah itu yang terakhir jadi sutradara film. Kalau sekarang zaman lebih keren disebut pembuat film. Pembuat film yang bertugas mengarahkan pemain film/sinetron sesuai dengan naskah diskripsi.
Aku berkesempatan bermain Film “NGIDAM”
Rasanya keren saja ya,
Dari sebuah naskah film bisa diadaptasikan menjadi sebuah film yang hidup. Ah keren banget! Aku tidak tahu ya darah seni mengalir dari siapa, tapi aku cinta banget di bidang seni khususnya seni akting.
Ingat dulu lagi zaman sekolah dasar alias SD. Ada pelajaran Bahasa Indonesia. Dimana ada momen siswa disuruh dibaca oleh guru dalam sebuah naskah. Ada yang jadi bapak, ibu, anak (Budi) dan adik. Aha aku paling suka jadi ibu. Rasanya aku bisa berekpresi. Dan saya menikmati, jadi kalau ditanya saat SD pelajaran apa yang kusuka? pastinya Bahasa Indonesia dong.
SMP-SMA
Kecintaanku di bidang akting semakin menjadi. Zaman itu untuk menonton akting artis baru ada TVRI. Di zamanku tuh ada film serial drama ACI alias Aku Cinta Indonesia. Cerita tentang anak sekolah SMP dalam kehidupan sehari-hari. Pemainnya bukan artis terkenal namun aktingnya bagus.
Rekomendasi Drama Seri di masa itu tahun 1980-an (ayo udah pada lahir belum) tidaklah[ sebanyak sekarang. Selain stasiun tv-nya hanya ada TVRI, rumah produksi yang produksi filmnya juga belum ada.
Kembali ke ceritaku,
Kesukaanku di dunia seni sayangnya tidak mendapat dukungan dari orang tua. Kata ibuku (terutama), “ngapain jadi seniman mau makan apa nanti gak ada masa depan”
Baca juga: Anak Istimewa Rejeki dari Tuhan
“Yah bu, tetaplah makan nasi sama dengan presiden tetap nasi yang dimakan”, ucapku berkelakar. Namun ibu tetaplah ibu yang kekeuh dengan prinsipnya. Dimatanya dunia seni itu sekedar hobby jangan dijadikan pekerjaan tetap. Jadi kalau mau tetap kuliah, ya ikut kemauan orang tua. Kuliah yang bergelar. Untungnya ibu setuju ketika saya memilih kuliah ilmu jurnalistik. Ini kuliah bidang wartawan, pekerjaan tidak mengikat alias jarang yang jam 9-5 malam jam kerja. Tamat dengan gelar S.Kom, alias Sarjana Komunikasi ada kebahagiaan tersendiri.
Generasi Anakku,
Foto: Rachel lulus tahun 2019
2 putriku Rachel (alumni London School fakultas Komunikasi Pemasaran) dan Glory (masih kuliah di Intitut Kesenian Jakarta jurusan Sinematografi). Kalau boleh jujur, ke-2 anakku semua berhubungan dengan seni. Rachel bekerja sebagai pembuat konten di sebuah televisi, Glory lebih sering syuting film.
Foto: Glory dalam kegiatan kuliah perfilm-an
Maunya aku nih termasuk di antara mereka yang bekerja di bidang eksakta, menjadi akuntansi misalnya. Secara Rachel nilai matematikanya bagus dan dia juga suka menghitung. Namun, sebagai orangtua milenial pikiran kolot itu harus dikesampingkan.
Yang menjalankan hidup, anak. Termasuk ketika berkarir. Kalau karena keinginan orang tua akhirnya anak melakukan pekerjaannya dengan setengah hati. Mungkin kita sebagai orang tua lebih tepat mengarahkan ya.
Kata teman anak-anakku,
“Tante orangnya enak ya. Gak memaksa. Ayahku dokter, ibuku dokter. Mereka maunya aku jadi dokter. Rada maksa sih, terpaksa aku jalani kuliah di kedokteran. Eh masuk semester 3, aku udah gak kuat. Kepalaku mau pecah. IPK anjlok gak sampai 1. Aku nyera, terserah deh gak kuliah juga gak papa”, ucap Zena teman SMP Rachel.
“Sekarang kamu bagaimana Zen?”, tanyaku
“Ya, jadi pekerja seni. Kadang-kadang catwalk, pembawa acara atau nyanyi. Terkesannya santai dan tidak menghasilkan ya tapi aku menikmati tan. Penghasilannya mengulangi direktur sebuah perusahaan tiap bulannya. Terpenting aku sudah mandiri tidak nyusahin orang tua”
Baca juga: 10 Pekerjaan Freelance Tanpa Mengikat
Hmmm, tanpa niat untuk menggurui ibu dan bapak disini. Pentingnya kita mendukung anak-anak dalam pendidikan sesuai dengan keinginan mereka. Kalaupun tertarik tidak memaksa tetapi lebih memberikan gambaran untuk karir kelak mereka.
Terpenting ibu dan bapak,
Baca juga: Ingin Bahagia? Datang Bakatmu!
Anak-anak kita bisa menikmati pekerjaannya. Agar tercapai kebahagiaan. Anak bahagia kitapun tentunya ikut bahagia (D/s)