Mau Hubungan Awet? Hindari Kekerasaan Verbal

Foto: Tribunnews

Hai bestie…

Apa kabar? semoga semua sehat aman dalam lindunganNya. Bestie diantara kalian siapa yang jarang ketemu keluarga besar? Aku termasuk. Walaupun tidak bekerja lagi tetapi ternyata menjadi ibu rumahtangga pekerjaannya gak ada habisnya. Ada saja yang dikerjakan. Pekerjaaan yang cukup menyita waktu adalah beres-beres rumah. Mulai nyapu, ngepel, ngelap, masak, rapiin tanaman. Ah rasanya waktu untuk kongkow-kongkow dengan saudara sulit ditemukan. Jangankan itu ngobrol via telphone saja jarang.

Hingga ketika aku bertemu sepupu dipemberkatan nikah 3 September lalu,

“Hai ini Astrid ya? apa kabar, kok berhasil program penurunan berat badannya. Aku susah banget!”, cerocosku pada sepupuku yang kalau aku taksir ada turun 15 kg. Tapi sepertinya tubuh Astrid mengecil bukan karena program diet atau olahraga, wajahnya kusut karena pikiran. Terlihat tidak cerah, seperti ada beban yang disimpan. Kami sudah ada 4 tahun tidak bertemu.

“Kamu mau turun Dennise berat badan?”

“Ya maulah! tapi susah banget. Apa karena aku orangnya easy going alias enjoy jalani hidup ya. Jadi kalau ada masalah makan tetap jalan, tidur tetap jalan. Masalah boleh ada, cuma tidak mengganggu rutinitas istirahat dan makan”, parah ya aku bestie…

“Nah itu dia kerennya kamu Nys (nama panggilanku), masalah ada gak dipikirin, beda dengan aku”

“Loh cape’kan mikirin masalah. Ya masalah memang ada tapi aku gak mau kurus kering gara-gara masalah. Capek hati”

“Nah itu dia capek hati. Ini yang aku alami sama suamiku. 10 tahun berumahtangga bahagianya cuma setahun. Selebihnya makan hati karena kelakuannya dan capek hati harus banyak mengalah walaupun dia yang salah”

“Kok mau?!”, pertanyaan bodohku keluar

“Ya terpaksa demi keutuhan rumahtangga”, wajah Astrid terlihat pasrah.

“Suamimu KDRT?”, bisikku di tengah ibadah. Aku takut ada orang lain yang nguping.

“Ya, tapi bukan dengan kekerasan fisik melainkan verbal. Alias kasar mulut”

Baca juga: Body Shaming? Jangan Panik!

“Kasar kebun binatang?”

“Tidak itu saja. Dia bilang aku bego, goblok, istri tidak berguna dan sering mempermalukan aku di depan orang banyak. Aku masih ingat ketika keluarga kumpul ulangtahun mertua perempuan. Aku gak dengar dia panggil. Pas kedua kalinya dia panggil aku dengar dan datang dia bilang, ini nih istri tuli kalau dipanggil pura-pura budeg”

“Oh My God, suamimu…”, ucapku sambil memeluk Astrid. Bisa kurasakan betapa sakit dan hancurnya perasaan hati Astrid diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Seperti tidak ada harga.

Aku jadi ingat cerita seorang teman SMA ku yang terpaksa harus cerai (kebetulan rumahtangganya belum dikarunia anak) karena suaminya mulutnya kasar. Suka-sukanya ngomong, mau istrinya sakit hati sebodo teuing yang penting terpuaskan hatinya.

Apa itu Kekerasan Verbal?

Menurut situs www.sehatQ Kekerasan Verbal adalah bentuk penyiksaan pada seseorang melalui kata-kata. Tujuannya adalah merusak mental korbannya sehingga si korban akan merasa tidak percaya diri, mulai mempertanyakan intelejensi, hingga merasa tidak memiliki harga diri.

Bentuk Kekerasan Verbal antara lain:

Baca juga: Gangguan Depresi dan Kecemasan, Ini yang Harus Diketahui

Name Calling

Seperti yang diucapkan oleh suami Astrid memanggil istri dengan bahasa kebun binatang dan mengganti penyebutan namanya. Seperti, “Hei monyet, dengar gak aku bicara!”, sangat kasar.

Merendahkan

Hal yang sangat menyakitkan ketika pasangan merendahkan istri dan hal itu diucapkan di depan orang banyak. Semisal, “Payah punya istri gelarnya saja S2 tapi untuk ngurus anak saja tidak becus. Otaknya sudah berpindah”

Berdebat

Dalam hubungan suami istri berdebat adalah hal biasa. Namun kalau terus menerus berdebat tanpa ujung apalagi kalau suami hobby mencari masalah ini sangat merusak mental istri

Ancaman

Dalam berdebat seringkali pasangan melontarkan kata-kata ancaman. Seperti, “awas ya, kalau kamu tidak menurut aku bunuh kamu!” Walaupun hal itu hanya gertakkan tetapi tentunya sangat merusak mental pasangan. Dan biasanya pasangan yang senang mengancam tidak sekali duakali melakukan. Tetapi berulangkali setiapkali bertengkar.

Dear bestie,

Aku jadi ingat seorang sahabat blogger Shyntako yang membahas tentang kekerasan verbal di blognya yang berjudul It’s Okay Not To Be Okay. Luka fisik itu sembuhnya cepat, bisa diobatin. Beda dengan luka bathin lama untuk sembuhnya. Butuh waktu yang cukup lama. Tidak cukup sehari 2 hari, bahkan berbulan-bulan. Ada yang bertahun-tahun. Bahkan kalau tidak kuat bisa depresi dan menjadi pasien dokter jiwa.

Baca juga: Waspada! Wanita Mudah Alami Depresi

Tanda Alami Kekerasan Verbal

Untuk mengetahui seseorang mengalami kekerasan verbal (terkadang tanpa disadari), bisa dilihat dari perubahan ini, antara lain:

Tidak Berharga

Ketika seseorang merasa harga dirinya jatuh alias tidak berharga dihadapan pasangannya. Hal yang sangat menyakitkan pasangan, orang yang dicintai dan teman hidup bersama tidak menghargai.

Tertekan

Adanya tekanan untuk tidak bisa melawan apalagi membela diri. Perasaan tertekan ini jika sudah ditingkat parah menjadikan seseorang pendiam. Bahkan jika sudah ditingkat parah bisa bengong dan pandangannya kosong.

Rendah Diri

Perasaan minder atau rendah diri seringkali dialami oleh seseorang yang mengalami kekerasan verbal. Merasa tidak berharga, tidak punya daya untuk membela diri. Terutama ketika pasangan mengucapkan kata-kata kasar berulangkali. Hal ini jika diteruskan membuat perasaan rendah diri dan malu untuk bertemu orang luar.

Takut

Hal terparah dan sudah masuk tingkat depresi tinggi ketika takut bertemu orang lain. Merasa dirinya akan disakiti. Dalam pandangannya semua orang yang datang padanya akan menyakiti.

Umumnya yang lebih sering mengalami kekerasan verbal wanita daripada pria. Walaupun ada juga terjadi pada wanita yang melakukan pada pasangannya, tetapi sangat sedikit. Impian semua pasangan tentunya ingin rumahtangga awet aman tanpa dibumbui kekerasan verbal.

Baca juga: Resep Rumahtangga Penuh Cinta

Hal Terpenting Jadi Perhatian:

Turunkan Ego

Baca juga: Kenali Sifat Suami yang Menyebalkan!

Dalam sebuah relationship suami istri tentunya pasti pernah alami gesekan. Yang bahaya kalau gesekan itu terus digesek tanpa ada yang mau mengalah. Jangan pernah merasa malu dengan yang namanya mengalah walaupun Anda yang benar. Setelah cooling down baru Anda giring pasangan untuk memahami duduk masalahnya. Syukur kalau dia menyadari kesalahannya

Tujuan Pernikahan

Penting banget masing-masing pasangan menyadari tujuan pernikahan yaitu membangun rumah tangga yang sakinah (tentram), mawadah (cinta kasih) dan warahmah (rahmat). Kalau hal ini disadari, kekerasan verbal bisa tidak dialami.

Komunikasi

Penting banget adanya komunikasi antar suami istri dalam suasana tenang dimana tidak terjadi kekerasan verbal Anda bisa utarakan hal ini pada pasangan. Tanyakan mengapa dia bersikap kasar pada Anda. Apapun jawabannya tentunya harus terima. Bisa jadi sumber masa lalunya. Mungkin ayahnya bersikap kasar pada dirinya sehingga hal itu dilampiaskan

Healing

Saat ketegangan antara kubu suami istri terjadi penting banget untuk melakukan healing untuk merelax-kan pikiran agar adem. Bisa ke pantai, puncak. Percaya deh kalau rasa cinta itu masih ada, semua yang terasa berat bisa diatasi. Semangat bestie (D/s)

Semua Rumahtangga PASTI ada Masalah

Terpenting Selesaikan masalahnya

Bukan rumahtangganya selesai

59 thoughts on “Mau Hubungan Awet? Hindari Kekerasaan Verbal”

  1. Ada pepatah bagai lidah tidak bertulang tapi tajamnya melebihi pedang. Ya satu dua ucapan yang menyakitkan, tapi dampaknya bisa berujung kematian. Sudah banyak kejadian, karena cekcok, Karena sakit hati lalu saling menghilangkan nyawa. Duh segitunya. Makanya kita wajib menjaga lisan. Diam kalau tidak perlu itu lebih baik

    Reply
    • Iya bener mbak, pepatah lidah tak bertulang itu ternyata bener ya. Lunak dan lembut, tapi ucapan yang keluar bisa setajam silet. Bisa mengakibatkan sakit hati, perselisihan, bahkan hingga pembunuhan

      Reply
  2. yang paling berat tu menyadarkan si pasangan (gak hanya suami, banyak istri juga melakukan kekerasan verbal) bahwa dia salah dan mau ‘mengobati’ dirinya

    karena mayoritas masyarakat menganggap KDRT hanya kalo mukul (fisik), padahal KDRT verbal akibatnya lebih fatal

    Reply
  3. Dalam hubungan apapun kalau udah kekerasan verbal memang bikin toxic ya. Semoga banyak sadar akan hal ini, untuk tidak lagi mengulanginya

    Reply
  4. Ini nih yang paling aku jaga sejak dulu: kekerasan verbal dalam keluarga.
    Saya selalu “diam” jika dalam kondisi emosi atau marah.
    Kalau lepas kontrol, bisa keluar semua tuh sumpah serapah yang tak bermakna…
    Setuju aku kak Denise: Luka fisik itu sembuhnya cepat, bisa diobatin. Beda dengan luka bathin lama untuk sembuhnya.

    Reply
  5. Sepakat sama penutupnya, selesaikan masalahnya, bukan rumah tangganya.

    Punya pasangan yang suka melakukan kekerasan verbal itu memang bikin hati sakit ya, dan akibatnya lebih bahaya dibanding luka fisik.

    Semoga jumlah wanita yang kayak Astrid ini makin berkurang, punya keberanian untuk mengungkapkan rasa tak nyamannya saat pasangan menjelekkan, dengan kalimat yang merendahkan, di depan orang banyak pula

    Reply
  6. Iya bener sih, salah satu hal yang bisa membuat pasangan berpisah salah satunya adalah dari perdebatan yang tanpa solusi ya mom?
    Kalau bisa memang kita harus selalu menjaga lisan, apalagi sama pasangan. Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk tetap berkata yang baik-baik atau diam saja lebih baik. Aaamiin

    Reply
  7. HUhu….aku baca artikel kak Dennise kali ini sambil tutup telinga.
    Serasa membayangkan kejadian yang merusak secara mental seseorang adalah dari sebuah perkataan yang buruk. Kalau suda begini, mental perempuan akan cenderung rendah diri dan sulit percaya dengan orang lain.

    Reply
  8. Orang-orang yang melakukan, -apalagi gemar- kekerasan verbal itu sendiri punya penyakit jiwa. Mereka ini “bebal” meski sudah dinasihati, bahkan udah jadi bawaan sehari-hari. Aku pernah melihatnya pada sosok seorang (blogger malahan) laki-laki. Luar biasa mengerikan. Itu baru orang lain, gimana kalau pasangan sendiri ya? Bisa-bisa ikut sakit jiwa 🙁

    Semoga kita terhindar jadi orang yang melakukan kekerasan verbal. Pun terhindar dari jadi korban kekerasan verbal

    Reply
  9. Aku slalu berharap dijauhkan dari makhluk yang doyan lakukan kekerasan seperti ini. Mulai dari kekerasan fisik ataupun verbal. Dan kehidupan pernikahan nggak bahagia ini bikin hidup makin sengsara

    Reply
  10. Kayak yang sepele ya kekerasan verbal begini. Apalagi di mata pelaku, merasa omongan sadis itu bukan apa-apa, padahal itu sama sakitnya dengan kekerasan fisik. Malah jauh lebih sakit. Bisa gak sembuh sama sekali malah luka hatinya.

    Alhamdulillah suamiku gak kasar verbal atau fisik. Kalo ngambek, banyaknya diem. Aku paling gak bisa didiemin. Jadinya kalo ada masalah biasanya cepet beres. Gak sampe berlarut-larut.

    Semoga siapa pun yang mengalami kekerasan fisik atau pun verbal dari pasangannya, bisa segera ke luar dari masalah tersebut. :'(

    Reply
  11. Kekerasan verbal itu lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Dan ini kadang lupa disadari pasangan masing-masing saat meluapkan amarah. Berharap tidak saling menyakiti sebenarnya kuncinya mudah, pahami kekurangan pasangan, mengalah bila pasangan sedang emosi. Tapi alhamdulillah aku dan suami bukan orang yang temperamental, nggak pernah saling menyakiti fisik maupun verbal.

    Reply
  12. Kekerasan verbal sering terjadi namun seringkali banyak orang yang tidak menyadari bahwa hal itu sangat merusak mental korban. Bagaimanapun hubungan yang tak sehat dan bersifat toxic seperti ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa perlawanan

    Reply
  13. Ya Allah kak Dennise kok persis seperti curhatan temenku tadi pagi….Sedihh suaminya sering ngatain jelek gendut dkk….

    Dia bingung mana anak 4, suaminya selingkuh dengan anak buahnya, tapi status dia gantung ceree gak, pasutri jg gatau mulutnya pedess.

    Kasiaan kakk Dennise✅

    Reply
  14. Ngeri ya, Mbak. Kekerasan verbal gak kalah menyakitkan dari kekerasan fisik pada kasus KDRT.
    Ya Allah.. kok tega ya bicara kasar dsb ke orang yg awalnya dicintai, berulangkali pula. Hiks.
    Berarti aku mesti bersyukur banget karena suamiku hingga saat ini gak pernah merendahkanku seperti itu.. (dan semoga selamanya).
    Makasih sharingnya, Mbak.

    Reply
  15. Ada yang bilang kata2 itu lebih tajam dari pisau, kyk luka fisik bisa sembuh, luka jiwa dan batin wuaduh bakalan lama sembuh bahkan gak akan sembuh gtu.
    Lalu saudaranya akhirnya gmn mbak? Apakah mendapatkan bantuan dr profesional atau keluarga?
    Semoga kita semua bisa menjaga kata2supaya gk menyakiti org lain terlebih keluarga sendiri aaminn

    Reply
  16. Menyelesaikan masalah itu yg biasanya memiliki banyak cara dan cara salah, tidak sedikit yang memilih nya. Padahal kalau diselesaikan dengan baik, rumah tangga bisa tetap bisa diselamatkan ya…

    Reply
  17. Ini kayaknya bisa deh aku ikuti sarannya. Walau bukan kekerasan verbal dalam tingkat tertentu, tapi nampaknya menarik untuk sama2 menjadi lebih baik. Terutama ke bb wkwkwkwkw

    Reply
  18. Kalau ada masalah di rumah tangga harus diselesaikan ya bukan rumah tangganya yang selesai, tapi kalau perangainya kasar seperti itu kayaknya sulit diubah ya Mbak, sudah mendarah daging, semoga temanmu diberikan kekuatan dan jalan keluar hiks

    Reply
  19. Waah parah banget suaminya Mbak Astrid ya. Berarti dia Kurus karena tertekan. Yang paling menyedihkan itu korban kekerasaan verbal gak ada bekasnya. Kalau KDRT kan ada memarnya. Nggak ada bekas fisiknya tapi menghancurkan psikis ya mbak Dennis

    Reply
  20. Ngeri juga ya mba kalau sudah ada kekerasan gini. Meski dalam bentuk ucapan, itu sudah sangat menyakitkan loh. Butuh kesabaran dan ketabahan untuk memperbaiki hal ini.

    Bener yang mba tulis itu, turunkan ego, terutama bagi pihak yang merasa superior, jangan mentang2 merasa punya andil besar dalam rumah tangga lalu merasa pantas memperlakukan pasangannya dengan seenaknya, big no no deeehh…

    Reply
  21. astaghfirullah, kekerasan verbal menjadi luka yang membekas bertahun-tahun.
    akupun heran kok bisa sepupumu lama bertahan dengan kondisi seperti itu. Jelas saja BB turun tapi raut wajah menyimpan beban berat.
    semoga kita terhindar dari segala bentuk kekerasan rumah tangga.

    Reply
  22. Aku turut prihatin dengan yang dialami sama sepupunya Kak Dennise. Sedih rasanya kalau ada wanita yang mengalami kekerasan verbal. Dan bener banget, sih, korban kekerasan verbal akan merasa tertekan dan tidak berharga. Mau berpendapat tuh kayaknya takuuuut gitu, ya.

    Reply
  23. Terkadang tidak sadar lho kita melakukan kekerasan verbal ke suami
    Bukan teriak tetapi kata-kata yang menyinggung atau nyelekit
    Kasihan kan ya karena kita sebagai isteri juga enggak mau digitukan pastinya’

    Reply
  24. Iya benar. Kekerasan verbal memang sangat menyakitkan. Dan hilangnya lama lho. Sangat mengganggu dalam hubungan komunikasi keluarga.
    Dulu kami punya satu kalimat yang bisa menyakiti satu sama lain, yaitu, “Kebiasaanmu, lho…. bla… bla… bla…” Dah gitu aja sakitnya pakai banget. Setelah saling bicara kami sama-sama tahu dan hilang sudah, kalimat itu.

    Reply
  25. Beneran loh, kekerasan verbal itu sembuhnya lama dan sulit. Aku pernah sih ngalamin, tapi bukan sama suami dan aku memilih menghindari. Dulu, sering bgt direndahkan, diejek di depan keluarga besar dan kalau inget ya sakit bgt…

    Reply

Leave a Reply to Okti Li Cancel reply